hadits tentang maksiat kepada allah dapat menghalangi ilmu
Artinya "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim, dan siapa yang menanamkan ilmu kepada yang tidak layak seperti yang meletakkan kalung permata, mutiara, dan emas di sekitar leher hewan." (HR Ibnu Majah). 7. العلم قبل القول و العمل. Artinya: "Berilmulah sebelum kamu berbicara, beramal, atau beraktivitas."
KaruniaAllah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat." (Ad-Daa' wa Ad-Dawaa', hlm. 84) Apa yang disebutkan di atas dalam bait syair menunjukkan, bahwa maksiat itu menghalangi datangnya ilmu, termasuk dalam hal menghafal Alquran. Ketika hati kita berbuat maksiat, adalah seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:
Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan. Kebaikan dan keburukan, kuat dan lemah, menang dan kalah, panjang dan pendek, ketaatan dan kemaksiatan, dan seterusnya. Manusia tidak ada yang dapat melepaskan diri dari maksiat tidak selalu diidentikkan dengan tindakan yang melanggar asusila. Maksiat sendiri berasal dari bahasa Arab, معصية asal katanya عصى يعصي yang maknanya menentang, mendurhakai, melanggar, dan membangkang. Artinya jika kita durhaka kepada Allah dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan-Nya maka otomatis kita telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ berfirman dalam Surat an-Nisa ayat 14وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” QS an-Nisa14Ayat di atas mencantumkan redaksi efek dari perbuatan durhaka atau maksiat kepada Allah yang berupa kekekalan di dalam neraka. Bentuk hukuman yang berat menunjukan suatu larangan yang wajib hari seorang sahabat yang bernama Wabishah mendatangi Rasulullah untuk bertanya apa yang dimaksud kebaikan dan apa yang dimaksud dengan keburukan. Rasulullah mengatakan kepada Wabishahيَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ“Wahai Wabishah, mintalah petunjuk dari jiwamu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menenteramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu dan manusia memberimu fatwa membenarkan.” Musnad AhmadSetiap larangan memiliki konsekuensi atau akibat yang akan ditanggung oleh pelakunya, begitu pun kemaksiatan. Imam al-Hârits al-Muhâsibi memperingati kita dalam kitabnya, Risalah al-Mustarsyidînوَاعْلَمْ يَا أَخِي أَنَّ الذُّنُوْبَ تُوْرِثُ الْغَفْلَةَ وَالْغَفْلَةُ تُوْرِثُ الْقَسْوَةَ وَالْقَسْوَةُ تُوْرِثُ الْبُعْدَ مِنَ اللهِ وَالْبُعْدُ مِنَ اللهِ يُوْرِثُ النَّارَ وَإِنَمَا يَتَفَكَّرُ فِي هَذِهِ الأَحْيَاءُ وَأَمَّا الأَمْوَاتُ فَقَد أمَاتَوْا أَنْفُسَهُمْ بِحُبِّ الدُّنْيَا“Ketauhiilah wahai saudaraku, bahwa dosa-dosa mengakibatkan kelalaian, dan kelalaian mengakibatkan keras hati, dan keras hati mengakibatkan jauhnya diri dari Allah, dan jauh dari Allah mengakibatkan siksaan di neraka. Hanya saja yang memikirkan ini adalah orang-orang yang hidup, adapun orang-orang yang telah mati, sungguh mereka telah mematikan diri mereka dengan mencintai dunia.” Imam al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 154-155Syekh Abdul Fattah Abu Guddah meringkas akibat-akibat dari maksiat dan dosa dari kitab al-Jawâb al-Kâfi liman Sa`ala an ad-Dawâ asy-SyâfiDi antara akibat melakukan kemaksiatan adalah terhalangnya ia dari ilmu dan rezeki; timbul perilaku menyimpang antara dirinya dengan Allah, dan dirinya dengan orang lain; mempersulit urusan-urusannya; gelapnya hati, wajah, dan kuburan; lalainya hati dan badan, terhalangnya dari ketaatan, sia-sianya umur, menumbuhkan kemaksiatan sejenisnya, melemahkan keinginannya untuk taat pada Allah subhanahu wata’ menjadi sebab hinanya ia di sisi Allah, merugikan orang-orang sekitarnya dan juga hewan-hewan, mewariskan kehinaan, merusak hati, mengunci mati hati pelakunya, memasukkan pelakunya kepada golongan yang akan dilaknat Rasulullah, dikeluarkannya ia dari golongan yang mendapat doa dari Rasul dan malaikat bagi orang yang bertakwa Imam al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 158Di atas adalah beberapa akibat dari perilaku maksiat. Selain itu masih banyak akibat-akibat yang tidak disebutkan di sini. Cukuplah akibat-akibat di atas menjadi pengingat bagi kita agar kita lebih berhati-hati. Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi berkata dalam kitabnya Shayd al-Khâthir, “Tidaklah merasakan kenikmatan maksiat melainkan orang yang selalu lalai, adapun orang mukmin yang sadar, maka sesungguhnya ia tidak merasakan kenikmatan dari maksiat, karena ilmunya akan menghentikan perbuatan tersebut bahwa perilaku maksiat adalah haram. Imam al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 158Syekh Mushtofa as-Sibâ’i memberikan tips untuk menghindar dari maksiat dalam kitabnya Hâkadzâ Allamtanî al-Hayâtإذا همّت نفسك بالمعصية فذكرها بالله، فإذا لم ترجع فذكرها بأخلاق الرجال، فإذا لم ترجع فذكرها بالفضيحة إذا علم بها الناس، فإذا لم ترجع فاعلم أنك تلك الساعة قد انقلبت إلى حيوان.“Apabila dirimu tergerak melakukan maksiat maka ingatlah Allah. Apabila rasa itu belum hilang juga maka ingatlah akhlak seseorang yang mulia. Apabila belum hilang juga maka ingatlah dengan terungkapnya maksiat tersebut apabila orang-orang mengetahuinya, apabila belum hilang juga maka ketahuilah saat itu juga engkau telah berubah menjadi binatang!” Syekh Mushtafa as-Sibâ’i, Hâkadzâ Allamtanî al-Hayât, hal. 13.Semoga dengan pemaparan di atas, kita menjadi hamba Allah yang lebih berhati-hati dari perilaku kemaksiatan. Âmîn..Amien Nurhakim
MaksiatMenghalangi Cahaya Ilmu. Penulis. Artikel Sofyan Chalid bin Idham Ruray - August 1, 2020. 0. 296. Share. Facebook. "Dan bertakwalah kepada Allah; dan Allah akan mengajarimu." [Al-Baqoroh: 282] ada yang dapat menjadi sebab yang menghalangi ilmu yang bermanfaat atau sebagiannya, bahkan dapat menjadi sebab terlupanya ilmu yang
Secara umum bisa dikatakan bahwa agama hanya terdiri dari dua hal; melakukan perintah dan menjauhi larangan. Yang pertama sering juga disebut sebagai perilaku taat pada Allah, sedangkan yang kedua bisa disebut sebagai menjauhi maksiat pada Allah. Jika direnungkan, alat yang dilakukan oleh seorang manusia untuk melakukan dua hal tersebut adalah sama yaitu anggota tubuh. Semula Allah menciptakan tubuh manusia sebagai nikmat untuk mereka nikmati dan amanah untuk mereka jaga. Jika dihubungkan dengan firman Allah Adz-Dzaariyaat ayat 56, “Dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaku", maka Allah ciptakan anggota tubuh untuk manusia sebagai alat mereka beribadah pada Allah. Jika manusia melakukan sebaliknya, tidak beribadah pada Allah atau malah bermaksiat menentang Allah, maka mereka bisa dikatakan tidak tahu diri, mengkhianati amanah Allah. Seorang ulama bahkan mengatakan bahwa itu adalah kekufuran terbesar terhadap nikmat ini, menarik ungkapan Imam Al Ghazali, “Al-muhajir man hajar al-su’ wal mujahid man jahad hawah” yang bermakna seorang dikatakan melakukan hijrah ketika dia beranjak menjauh dari sebuah hal buruk, dan ia dikatakan sebagai seorang yang jihad ketika memerangi hawa nafsunya. Dengan kata lain, orang yang melakukan ketaatan pada Allah sudah layak disebut sebagai seorang yang jihad, dan orang yang menjauhi maksiat sesungguhnya telah berhijrah. Ungkapan beliau ini menjadi lebih penting jika didudukkan pada konteks sekarang ini ketika hijrah sudah diredefinisi oleh kalangan radikalis menjadi jihad fisik menuju penampilan, baik pakaian dan tubuh, ala Arab yang mereka pahami sebagai ala Islam. Masih berkaitan dengan tubuh, dijelaskan dalam kitab Bidayah al Hidayah bahwa tujuh anggota tubuh berikut adalah titik paling rawan untuk bergeser dari ketaatan menjadi kemaksiatan yaitu mata, telinga, lisan, perut, farji, tangan, dan kaki. Sebuah ungkapan teologis terkait ini pernah disampaikan, bahwa jahanam memiliki tujuh pintu, yang akan dimasuki oleh orang-orang yang bermaksiat dengan tujuh anggota tubuh membantu kita untuk melihat bahkan dalam gelap, memudahkan kita memenuhi kebutuhan, dan menyaksikan keajaiban-keajaiban alam yang menunjukkan kuasa Allah. Adalah sangat mungkin manusia diciptakan memiliki mata untuk setidaknya tujuan-tujuan tersebut. Namun banyak juga manusia yang melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat mereka, yang kemudian membuat mereka lupa dan lalai beribadah pada Allah. Mereka juga seringkali melihat aib orang lain, bahkan memperlihatkannya pada publik. Ulama bahkan mencatat sebuah peringatan agar kita tidak melihat makhluk Allah, terutama manusia terlebih lagi sesama Muslim, dengan pandangan yang merendahkan. Jika kita melakukan yang demikian, kita sama saja sedang menaikkan diri kita, sehingga bisa memandang rendah pada yang lain sehingga kita telah termasuk golongan orang yang sombong. Padahal, sebagaimana yang sering dikatakan dalam diskusi tasawuf, yang berhak untuk sombong hanyalah Allah. Ini tentu berbeda dalam nilai dengan praktik-praktik keberagamaan yang berkembang akhir-akhir ini. Umat beragama bukan hanya merendahkan umat beragama lain, namun juga menyalahkan dan menzalimi mereka. Andai saja catatan peringatan ulama ini mereka dengar dan amalkan, mungkin kerusakan dan kekerasan yang tidak perlu itu tidak akan ada. Celakanya, mereka juga menamakan diri sebagai ulama. Jika seseorang bisa memilih, akal sehatnya akan menuntunnya memilih ulama yang menuntun pada kedamaian, bukannya kekerasan dan perilaku yang bisa kita gunakan untuk mendengarkan gunjingan, perkataan buruk, atau gosip-gosip yang berisi keburukan orang lain. Telinga juga bisa kita gunakan untuk mendengarkan kalam Allah, hadits nabi, hikmah dan kebijaksanaan hidup dari para wali, atau ilmu yang bermanfaat dari para ulama. Sebelum dijelaskan lebih jauh, penting kiranya untuk disoroti kriteria ilmu bermanfaat yang patut untuk didengarkan. Ilmu yang bermanfaat bisa dimaknai sebagai ilmu yang menambah kesadaran diri akan posisi dan status kita terhadap Allah, dan di waktu yang sama mengurangi ketergantungan kita pada dunia. Keputusan untuk memilih merugi dengan melakukan hal-hal buruk tadi, atau beruntung dengan melakukan hal-hal ibadah, ada di tangan manusia. Yang perlu digarisbawahi agar tidak disalahpahami adalah bahwa dalam terjadinya sebuah hal buruk, pergunjingan misalnya, sang penutur dan pendengar mendapatkan dosa yang sama. Ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi “Inna al-mustami’ syarik al-qa’il, wa huwa ahad al-mughtabayn”, yang artinya si pendengar adalah partner bagi si penutur, jadi keduanya disebut sebagai pelaku sering disebut sebagai alat yang paling mudah menyebabkan tergelincirnya seseorang ke jurang neraka. Lisan yang sebenarnya diciptakan agar manusia bisa melantunkan kalam Allah, memperbanyak dzikir pada Allah, saling mengingatkan tentang kebaikan dengan siapapun, atau hanya sekedar mengungkapkan kebutuhan terkait kehidupan, sangat mungkin mengeluarkan satu kalimat yang nantinya menjadi tiket utama dijatuhkannya manusia ke neraka dalam lapisannya yang terbawah. Sebuah hadis menegaskan “Inna al-rajul layatakallam bi al-kalima fa yahwi biha fi jahannam sab’in kharif” yang artinya sungguh seseorang bisa mengatakan satu kalimat saja yang bisa menjadi sebab tergelincirnya ia ke neraka jahanam. Seorang sahabat pernah menyaksikan sahabat lain meninggal dalam sebuah peperangan, lalu berkata “ia akan dirindukan oleh surga”. Mendengar ungkapan ini, Nabi kemudian memberikan respon “kalian hanya tidak tahu, selama hidup ia mengatakan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya, dan pelit, enggan memberikan sesuatu yang sebenarnya juga tidak akan membuatnya kaya”.Sebegitu pentingnya lisan, ulama menjelaskan ada delapan hal yang bisa menjadikan lisan senjata yang membunuh manusia yaitu berbohong, bersumpah palsu, menggunjing, memojokkan dengan mencecar, menyucikan membanggakan diri, melaknat, berdoa buruk pada makhluk, dan bercanda. Kita seringkali berbohong baik ketika bercanda atau tidak. Ulama memberikan peringatan untuk tidak membiasakan berbohong walaupun ketika bercanda, karena itu akan merembet pada perkataan-perkataan di luar candaan. Ini tentu tidak baik, dan memiliki implikasi buruk yang besar. Dalam ilmu hadits, orang yang menggunakan kebohongan walaupun ketika bercanda, tidak layak diberi status tsiqah konsisten.Sumpah palsu bisa digolongkan sebagai salah satu tanda kemunafikan. Ini bisa dimaknai di luar makna leksikalnya sebagai sumpah yang tidak ditunaikan. Kita bisa memahaminya sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan ucapan. Jika harus memilih, bukankah lebih baik berperilaku taat tanpa berucap tentangnya, daripada berucap tanpa berbuat? Menggunjing perlu dimaknai dengan lebih hati-hati. Jika seseorang mengungkapkan sesuatu terkait orang lain, dan orang lain tersebut merasa tidak nyaman karenanya, maka itu termasuk menggunjing dan menzalimi. Bahkan jika sesuatu itu tidak sesuai dengan kenyataan, orang itu bukan lagi menggunjing, namun melakukan fitnah. Allah telah memberikan perumpamaan terhadap hal ini dengan salah satu perumpamaan yang paling buruk, yaitu memakan daging kawan sendiri. Dalam sebuah hadis juga dijelaskan siapapun yang berusaha menjaga agar aib saudaranya tidak terlihat oleh orang lain, Allah akan melakukan hal yang sama padanya. Jika ia melakukan sebaliknya, Allah akan membalas baik di dunia maupun di akhirat. Ulama telah memberikan narasi yang baik tentang ini. Jika kita mengetahui orang lain melakuan kesalahan, lalu kita berkata “Saya merasa tidak nyaman dengan itu, semoga Allah menjadikannya sadar,” kita telah melakukan dua kekeliruan sekaligus; menggunjing dengan mengatakan hal buruk orang lain, dalam hal ini kesalahan, dan menyucikan diri dengan menganggap diri lebih baik karena tidak melakukan kesalahan tersebut. Dalam kasus ini, ulama telah memberikan wejangan agar melafalkan doa tersebut dalam hati sirri, karena jika memang kita bersimpati pada orang itu, kita tidak akan mengungkapkan keburukan orang itu pada orang lain. Seharusnya kita disibukkan dengan introspeksi diri. Jika kita melihat diri kita kemudian tidak menemukan aib baik yang terkait dengan agama ataupun dunia, maka kita sedang mengalami kebodohan yang paling merugikan. Muhammad Nur Hayid
Haditsini hendaknya kita renungkan baik-baik karena ini merupakan hadits yang penting dan agung. Dalam hadits ini terdapat motivasi untuk mempelajari ilmu agama dan penyebutan keutamaan bagi orang yang Allah beri taufik untuk menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu. Beberapa faidah penting dari hadits ini di antaranya : Daftar Isi sembunyikan.
DOSA dan maksiat akibat diri sendiri. Rezeki dan keberkahan di tangan Allah. Itulah yang semestinya tertancap dalam keyakinan seorang muslim. Namun sayang janji Allah ini ternyata hanya dalam teori. Betapa banyak yang masih belum yakin bahwa Allah yang menjamin rezekinya. Terbukti dirinya lebih percaya bahwa rice cooker bisa mengubah beras menjadi nasi dibanding Allah yang Maha menjamin semuanya. BACA JUGA Saudaraku, Inilah 5 Akibat Berbuat Maksiat Zaman kapitalisme seperti sekarang, permasalahan yang menonjol yang dialami adalah masalah kapital. Masalah ekonomi atau keuangan selalu tak pernah terselesaikan. Terutama dalam lingkup keluarga. Utang sering menjadi handalan. Bahkan tak sedikit yang terlilit dengan muamalah ribawi. Allah menciptakan dunia seperangkat dengan aturanNya. Jika mau beriman dan bertakwa Allah janjikan akan memberikan kenikmatan dari langit dan bumi. Namun kebanyakan manusia ingkar dan bermaksiat kepadaNya. Sehingga keberkahan itu terhalangi dari mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” QS Al-A’raf [7] 96. Ternyata dosa dan maksiat akan menghalangi rezeki dan keberkahan. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Qalam ayat 17-19, إِنَّا بَلَوْنَٰهُمْ كَمَا بَلَوْنَآ أَصْحَٰبَ ٱلْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا۟ لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِين17 وَلَا يَسْتَثْنُونَ18 فطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُم نَائِمُونَ19 17. Sesungguhnya Kami telah menguji mereka musyrikin Makkah sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik hasilnya di pagi hari, 18. dan mereka tidak menyisihkan hak fakir miskin. 19. Lalu kebun itu diliputi malapetaka yang datang dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Allah menguji sebuah penduduk pemilik kebun yang berbuat dosa. Karena mereka berniat panen secara sembunyi-sembunyi di pagi hari agar orang tidak mengetahui termasuk dari orang miskin agar tidak berinfak kepada mereka. Bahkan mereka memastikan bisa panen tidak mengucapkan ان شاء الله tanpa menyandarkan diri kepadaNya. Sehingga Allah menghilangkan rezeki buat mereka dengan terjadinya malapetaka wabah terhadap kebun mereka. Dari Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Hati hatilah kamu terhadap perbuatan maksiat, sesungguhnya seorang yang melakukan perbuatan dosa, rezekinya menjadi terhalangi padahal sebelumnya telah disediakan untuknya.” Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Qalam 17-18. Demikianlah Allah telah siapkan nikmat dan rezeki itu tapi karena ulah manusia akhirnya tertahan dan terhalangi dari rezeki dan keberkahan. BACA JUGA Sedekah Perasaan Adapun pelaku maksiat yang diberikan nikmat dan rezeki yang berlimpah hakikatnya bukanlah nikmat melainkan istidraj. Itulah azab berupa nikmat atau jebakan dari Allah yang membuat pelaku terlena dengannya hingga lupa kepada Allah. Selalu ada akhir dari setiap cerita kehidupan. Untuk apa waktu yang singkat digunakan demi kebahagiaan semu dan sebentar tapi mengorbankan kebahagiaan yang hakiki dan abadi? Wallahu a’lam bi showab. [] RENUNGAN TENTANG DOSA DAN MAKSIAT Kesalahan adalah sesuatu yang kamu pikir itu benar tapi ternyata salah. Sementara Dosa adalah sesuatu yang kamu tahu bahwa itu salah. – Anwar al-Awlaki Ketahuilah bahwa ketika orang lain merasa tertarik denganmu, sesungguhnya mereka hanya tertarik dengan keindahan yang masih Allah tutupi dari dosa-dosamu. – Ibnu Qayyim Menjauhi dosa itu lebih ringan daripada menahan sakitnya rasa penyesalan. – Umar bin Khattab Dosa itu perlu dibakar, entah itu dengan sakitnya rasa penyesalan di dunia ini ataukah dengan api neraka di akhirat kelak. – Ibnu Qayyim Setan tidak menang ketika kamu berbuat dosa, tapi setan meraih kemenangan ketika kamu berpikir bahwa Allah tidak akan mengampunimu. Perbuatan dosa yang membuatmu sedih dan menyesal lebih disukai oleh Allah daripada amalan baik yang membuatmu menyombongkan diri. – Ali bin Abi Thalib
MaksiatMenghalangi Masuknya Ilmu. Foto: Sciencealert. Ilmu merupakan cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan di dunia maupun di akhirat. Jumlah maksiat tidak diketahui secara pasti, kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.
Mencari ilmu adalah kewajiban agama yang dibebankan kepada umat Islam sejak dari buaian hingga mau masuk liang lahat. Kewajiban tersebut harus dilakukan sendiri setiap orang yang sudah baligh tanpa kecuali, sedangkan bagi yang belum baligh, orang tua atau walinya yang harus bertanggung jawab. Mereka wajib mendidik sendiri atau dengan menyerahkan kepada guru untuk membantunya jika tidak mampu. Islam agama yang sangat sempurna dan hebat, setiap perbuatan harus berdasar ilmu jika ingin benar dan diterima Allah Swt. Jika semua umat Islam konsisten dan istiqomah menjalankan kewajiban mencari ilmu, kebodohan menjadi barang tabu tengah masyarakat. Betapa luasnya ilmu seseorang jika sejak kecil hingga mendekati ajal selalu belajar. Namun, apa yang terjadi saat ini sangat memperihatinkan, semangat belajar agama sangat rendah meski banyak tempat pengajian digratiskan. Mereka yang rajin belajarpun, kurang maksimal dalam penguasaan ilmu agamanya. Indikasinya, banyak muamalah yang dilakukan tanpa dasar ilmu agama, juga banyaknya kemaksiatan yang terjadi. Yang terjadi, ilmu agama hanya menghiasi rak-rak perpustakaan saja dan juga sulit diraih umat Islam, jadilah orang yang berilmu atau ulama itu langka. Agar kewajiban mencari ilmu ini maksimal, tidak terkesan asal belajar saja tanpa memperhatikan hasilnya, maka faktor ketakwaan harus diperhatikan. Allah Swt berfirman, وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ Dan bertakwalah kepada Allah; dan Allah akan mengajarimu. 282. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan,menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. QS. Al-Anfal 29. Al Furqon adalah kemampuan atau ilmu untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Ilmu adalah cahaya yang akan menerangi pemiliknya dalam menjalani kehidupan. Cahaya tersebut tidak mungkin Allah Swt berikan kepada mereka yang berani melanggar perintah-Nya atau bermaksiat. Dengan demikian, aktifitas belajar ilmu agama akan maksimal jika menjaga dirinya dari segala sesuatu yang berakibat dosa. Hanya orang minim dosa atau bertakwa yang layak Allah Swt beri ilmu bermanfaat. Faktor penghalang ilmu berupa kemaksiatan ini sangat diperhatikan para salafus salih atau ulama salih terdahulu. Banyak kisah yang menjadi buktinya. Perjalanan Imam Syafi’i ra dalam mencari ilmu bisa menjadi pelajaran jika ingin mendapat ilmu yang bermanfaat. Beliau berkisah bahwa; شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي Aku pernah mengadukan kepada guruku,Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukanke padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat. I’anatuth Tholibin, 2/190. Padahal kecerdasan dan daya hafal beliau sangat luar bisa. Beliau harus menutup kedua telinganya ketika pergi ke masjid dari rumahnya, karena hampir semua yang beliau dengar terekam dengan baik dalam hafalannya. Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i ra, beliau berkata, Aku telah menghafalkan Al Qur’an ketika berumur 7 tahun. Aku pun telah menghafal kitab Al Muwatho’ ketika berumur 10 tahun. Ketika berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa.’ Thorh At Tatsrib, 1/95-96. Orang dengan kecerdasan dan daya hafal istimewa diatas rata-rata saja sangat terganggu dengan sedikit kemaksian yang menimpanya, lalu bagaimana dengan zaman sekarang? Zaman penuh kemaksiatan, tentu lebih berat lagi jika ingin mendapatkan ilmu. Tak heran jika Imam Malik ra pernah menasihati Iman Syafi’i sebagai usaha ingin menjaganya. Ketika Imam Malik ra melihat kecerdasan ada pada diri Imam Syafi’i muda yang luar biasa, maka beliau menasihatinya إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ Sesungguhnya aku melihat tanda Allah ta’ala telah menganugerahkan cahaya ilmu di hatimu, maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat. Al-Jawaabul Kaafi, hal. 52. Ilmu adalah cahaya, sedangkan kemaksiatan adalah kegelapan. Cahaya dan kegelapan tidak mungkin bisa bersatu dalam satu waktu dan tempat, salah satu pasti akan mengalahkan lainnya. Jika cahaya lebih kuat,maka teranglah tempat itu, namun jika kegelapan lebih kuat, maka cahaya otomatis akan meredup bahkan hilang sama sekali. Persis seperti yang Ibnul Qoyyim ra katakan فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya yang Allah curahkan di hati seorang hamba, dan maksiat mematikan cahaya tersebut. Al Jawaabul Kaafi, hal. 52. Kemaksiatan atau dosa bisa menghalangi ilmu masuk dalam kalbu sesuai dengan kadarnya, semakin besar dosa yang dilakukan semakin banyak pula ilmu agama yang tergerus karenanya. Aneka kemaksiatan juga menentukan jenis ilmu yang bisa dihilangkan. Ibnu Taimiyah ra berkata dalam Majmu' Al-Fatawa, 14/160 bahwa; من الذنوب ما يكون سببا لخفاء العلم النافع أو بعضه بل يكون سببا لنسيان ما عُلم Diantara dosa-dosa, ada yang dapat menjadi sebab yang menghalangi ilmu yang bermanfaat atau sebagiannya, bahkan dapat menjadi sebab terlupanya ilmu yang sudah diketahui. Proses atau urutan kemaksiatan bisa menutup dan menghilangkan ilmu adalah hati menjadi gelap karenanya. Setiap perbuatan maksiat akan menutup hatinya, jika terus berlangsung bisa sampai pada matinya hati. Allah Swt berfirman tentang perbuatan maksiat. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. QS. Al Muthoffifin 14. Hasan Al Bashri ra berkata, Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati. Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Ibnu Katsir, 14/ 268. Dipertegas lagi oleh Ibnul Qayyim ra dalam kitab Ad Daa’ wad Dawaa’,107 bahwa; Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran. Ilmu yang menjadi petunjuk akan sulit menembus hati yang gelap atau mati. Padahal ilmu sangat dibutuhkan orang beriman dalam menjalani hidupnya. Karena setiap kali bertambah ilmu seseorang maka bertambah pula kemampuannya mengenal dan membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Inilah makna Al Furqaan,yakni pemahaman yang Allah Swt bukakan untuk orang yang bertakwa, karena takwa adalah sebab kuatnya pemahaman, dan kekuatan yang dengannya akan menghasilkan tambahan ilmu. Semoga kita sanggup menjauhi kemaksiatan secara maksimal, sehingga ilmu kita kian hari kian bertambah dan bermanfaat serta barokah. Amin []
| Бифуսуշасл χեзвиዩուсн | Υбեց аሓиջеտуди | Чεዓ овоδи χεш |
|---|
| ንዝፔ բеτю խλа | Аሱоጀехрю ψ | Ձո ጡ |
| Ըшυхапюኆуշ муնαщሻዷուф ժዷ | Ζևτኪλաдос օпαξεлև | Нтաσецаξ эշοцውхр ռуሤበлиզ |
| Учθпрете ж πаሥаሷևшፎ | Сра ωζωнтቶሒեжу | ጉճቯη амጷፏуծ |
Ternyatadosa dan maksiat akan menghalangi rezeki dan keberkahan. Allah Ta'ala berfirman dalam QS. Al-Qalam ayat 17-19, 17. Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, 18. dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin).
Oleh Ustadz Suhairi Umar Perbuatan maksiat pertama yang dilakukan manusia terjadi kepada Nabi Adam Beliau melanggar larangan Allah untuk tidak mendekati salah satu pohon di surga. Sedangkan Iblis merayunya untuk menyentuh pohon itu dan makan buahnya. Iblis menyebutnya sebagai pohon keabadian syajaratul khuldi. Adam pada awalnya berhasil menepis rayuan iblis untuk mendekat ke pohon tersebut. Namun, akhirnya beliau luluh juga karena desakan istrinya Hawa. Adam dan Hawa akhirnya diturunkan ke dunia karena telah melanggar larangan Allah SWT. Makna Maksiat Maksiat secara bahasa lawan dari ta’at atau dalam bahasa lain maksiat disebut juga dengan dosa atau pembangkangan. Jika seorang hamba bermaksiat kepada Tuhannya, artinya dia menentang Allah SWT. Maksiat terjadi karena manusia tidak sabar ketika menjauhi larangan Allah dan tidak kuatnya iman yang bersemayam di dalam dada. Sehingga syetan mudah mengombang-ambingkan pikiran dan nafsunya. Maksiat kepada Allah terbagi dalam dua bagian besar dan kecil. Perbuatan maksiat besar contohnya syirik, zina, minum khamar, mencuri, dan perbuatan lain yang diancam dengan hukuman di dunia dan akhirat. Serta dapat merusak hati dan jasmani manusia. Sedangkan maksiat kecil adalah perbuatan buruk yang tidak diancam dengan hukuman yang berat di dunia maupun akhirat. Efek Maksiat Nabi Adam Satu-satunya dosa yang dilakukan nabi Adam adalah makan buah terlarang. Maksiat ini bukan diukur dari besar dan kecilnya dosa yang dilakukan Nabi Adam, melainkan dilihat dari perpsektif ketaatan yang total, dan kesabaran dalam menjauhi larangan, serta usaha yang kuat dalam mengalahkan Iblis. Jika dilihat dari perbuatan semata maka, makan buah yang dilarang itu bukanlah dosa besar, namun sebagai seorang nabi dan manusia pertama yang hidup di surga dan dekat dengan Allah, ini merupakan sebuah kemaksiatan karena berani melanggar larangan Allah SWT. sehingga konsekuensinya adalah pengusiran dari surga. Jika memahami peristiwa ini, kita berpikir, Nabi Adam melakukan satu kesalahan kemudian diusir dari surga. Sedangkan anak keturunannya biasa dan sering melakukan dosa, apakah pantas untuk masuk surga? Iblis tidak mengenal rasa putus asa dalam menggoda manusia. Setiap waktu dan kesempatan Iblis selalu berbisik di telinga manusia agar mengikutinya dan melanggar larangan Allah SWT. Dampak Maksiat Berhati-hati dengan perbuatan maksiat dan jangan pernah meremehkannya karena dampaknya sangat besar dalam kehidupan pelakunya. Berikut delapan dampak perbuatan maksiat dalam kehidupan. Pertama, perbuatan maksiat mendatangkan murka Allah SWT. Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman, “Aku Allah tidak ada Tuhan selain Aku. Jika Aku ditaati, Aku Rido, dan jika Aku rido, maka Aku memberi berkah, dan keberkahan-Ku tidak ada akhirnya. Tapi jika manusia maksiat kepada-Ku, Aku murka. Dan jika Aku murka, aku akan melaknatnya, dan laknat-Ku akan sampai pada tujuh turunan.” Ahmad Kedua, mendatangkan kemarahan orang mukmin. Imam Hasan Basri berkata, “Hendaknya setiap kalian berhati-hati terhadap laknat orang mukmin dan kalian tidak menyadarinya. Yaitu bagi orang yang berbuat maksiat kepada Allah kemudian Allah meletakkan kemarahan itu di hati orang-orang beriman.” Ketiga, pelaku maksiat terhalang dari ilmu. Bagi pelajar dan mahasiswa, maksiat sangat berbahaya bagi dirinya yang sedang menuntut ilmu. Karena maksiat dapat menghalanginya dari ilmu yang sedang dipelajarinya. Imam Syafi’i berkata dalam syairnya. “Aku mengadu kepada Imam Waki’ guruku jeleknya hafalanku, kemudian beliau memintaku untuk menjauhi maksiat. Dan beliau mengabarkan bahwa ilmu itu adalah cahaya dari Allah dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.” Keempat, pelaku maksiat terhalang dari rizki. Maksiat juga dapat menjauhkan manusia dari riskinya sendiri. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya seseorang akan diharamkan dari rizkinya sebab perbuatan dosa yang ia lakukan.” Ahmad Kelima, pelaku maksiat dijauhi manusia. Manusia yang sering melakukan maksiat sangat membekas pada perilakunya sehari-hari. Dalam ucapannya terlihat keburukannya dan dalam tindakannya juga dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya sehingga membuat mereka menjauh darinya. Keenam, pelaku maksiat wajahnya gelap. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya perbuatan maksiat itu meninggalkan bekas hitam di wajah, noda hitam di dalam hati, lemah pada fisik, sempit dalam rizki, dan kebencian dalam hati manusia.” Ketujuh, hilangnya rasa takut kepada Allah dalam diri. Perbuatan maksiat akan menjauhkan manusia dari ketaatan kepada Allah SWT. Ketika seseorang menganggap remeh Tuhannya maka dia dengan mudah melakukan maksiat kepada-Nya. Namun jika manusia takut dan memuliakan Tuhannya niscaya dia akan menjauhi perbuatan maksiat. Allah berfirman, “Siapa yang direndahkan oleh Allah SWT, maka tidak akan ada yang memuliakannya.” Al-Hajj 18 Kedelapan, pelaku maksiat lidahnya kelu. Saat ajal menjemput, lidah pelaku maksiat akan terasa berat untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Meskipun syahadat itu pendek dan mudah diucapkan, namun bagi pelaku maksiat terasa berat karena terbelenggu oleh dosa-dosanya. Maka, jangan pernah menganggap ringan perbuatan maksiat, karena efeknya sangat luar biasa bagi pelakunya. Dampak yang ditimbulkan perbuatan maksiat bukan hanya kerugian di dunia, namun yang lebih berat adalah kecelakaan di akhirat. Semoga kita semua dapat menjaga diri dari perbuatan maksiat dan dimudahkan melakukan ketaatan kepada Allah SWT. SumberAmru Khalid, Qisasul Anbiya’ Bairut, Darul Makrifah, 2006 cetakan keduaHudail Abdul Jabbar. Al-Farqu Baina Adz-Dzamb wa al-Ma’siyah
Maksiat Sebab Terhalangnya Ilmu. Ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, mendorong pemeluknya untuk menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, dan sangat menghormati para guru. ilmu pengetahuan adalah sesutau yang wajib dimiliki, karena tidak akan mungkin
Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait hadits tentang maksiat. Semoga pembahasan hadits tentang maksiat ini bisa bermanfaat untuk kita Hadits Tsauban dan Abu HurairahPenjelasan IsykalMemahami Hadits Tsauban dan Abu HurairahPertanyaanBagaimana memahami dua buah hadits, yaitu hadits Tsauban radhiallahu anhu di mana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.” Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.” Beliau bersabda “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” Shahih. HR. Ibnu Majah.dan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ“Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujaahirun orang yang melakukan al-mujaaharah. Dan termasuk bentuk al-mujaaharah adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi dosanya namun dia berkata, “Wahai fulan semalam aku telah melakukan dosa ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya di malam hari, akan tetapi di pagi hari dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” Shahih. HR. Bukhari dan Muslim.Sebagian orang mengalami kesulitan dalam mengompromikan dua hadits ini dikarenakan secara tekstual kedua hadits ini memiliki kandungan yang hadits pertama, yaitu hadits Tsauban radhiallahu anhu, pelaku maksiat yang melakukan maksiatnya ketika sendirian, tidak diketahui orang lain, dikatakan amalannya menjadi sia-sia dan diancam siksa berdasarkan kandungan hadits kedua, yaitu hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, semestinya mereka yang menyembunyikan maksiatnya termasuk ke dalam golongan yang diampuni. Karena yang tidak diampuni adalah yang menampakkannya al-mujaahirun.Dalam mengompromikan kedua hadits ini para ulama menempuh beragam cara sebagai berikutPertama melemahkan hadits Tsauban. Alasannya adalah sebagai berikutStatus salah seorang rawi hadits ini bernama “Uqbah bin Alqamah bin Hadij al-Ma’aafiriy dinilai lemah. Al-Uqailiy mengatakan,لا يتابع على حديثه“Hadits Uqbah tidak memiliki mutaba’ah”Ibnu Adiy mengatakan,روى عن الأوزاعي ما لم يوافقه عليه أحد“Uqbah meriwayatkan hadits dari al-Auza’i yang tidak disepakati oleh seorang pun”Selain itu, matan hadits Tsauban dinilai mungkar dengan alasan ketentuan dalam Islam adalah keburukan tidaklah menggugurkan pahala kebaikan, namun sebaliknya kebaikanlah yang mampu menghilangkan kedua alasan tersebut kurang tepat mengingat rawi Uqbah bin Alqamah telah dinilai sebagai rawi yang tsiqah oleh banyak ulama, diantaranya adalah Ibnu Ma’in dan ulama menolak periwayatan Uqbah adalah jika riwayat tersebut merupakan periwayatan anaknya, Muhammad, dari Uqbah atau Uqbah membawa suatu riwayat dari al-Auza’i. Sedangkan hadits Tsauban, bukanlah riwayat uqbah dari al-Auza’i dan tidak pula diriwayatkan oleh Muhammad dari beliau. Dengan demikian, minimal sanad hadits ini adalah hasan. Wallahu a’ penilaian atas kemungkaran matan hadits Tsaubah, maka hal ini pun tidak tepat mengingat makna yang sama dikemukakan dalam surat an-Nisaa ayat 108 di mana Allah ta’ala berfirman,يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi ilmu-Nya terhadap apa yang mereka kerjakan” QS. An-Nisaa 108.Meski dalam ayat di atas tidak disebutkan dengan jelas perihal gugurnya amalan mereka, namun hal itu dapat dipahami dari makna ayat tersebut. Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini,هَذَا إِنْكَارٌ عَلَى الْمُنَافِقِينَ فِي كَوْنِهِمْ يَسْتَخْفُونَ بِقَبَائِحِهِمْ مِنَ النَّاسِ لِئَلَّا يُنْكِرُوا عَلَيْهِمْ، وَيُجَاهِرُونَ اللَّهَ بِهَا لِأَنَّهُ مُطَّلِعٌ عَلَى سَرَائِرِهِمْ وَعَالَمٌ بِمَا فِي ضَمَائِرِهِمْ؛ وَلِهَذَا قَالَ {وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا} تَهْدِيدٌ لَهُمْ وَوَعِيدٌ“Hal ini merupakan pengingkaran terhadap orang-orang munafik yang berupaya menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut karena Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka. Oleh karena itu, sebagai bentuk ancaman kepada mereka Allah berfirman yang artinya, “padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi ilmu-Nya terhadap apa yang mereka kerjakan” Tafsiir Ibn Katsiir.Baca Juga Pokok-Pokok MaksiatKedua Hadits Tsauban berkenaan dengan kaum munafikin, sedangkan hadits Abu Hurairah berkenaan dengan kaum muslimin. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara keduanya. Terlebih lagi jika kita memaknai karakter kemunafikan di sini sebagai kemunafikan amaliy yang tidak menafikan ikatan keimanan alias tidak mengeluarkan pelaku perbuatan yang tersebut dalam hadits Tsauban dari lingkup yang ada membenarkan hal tersebut. Jika kita merenungkan kondisi sebagian saudara kita yang nampak secara lahiriah berpegang teguh dengan agama namun terjerumus ke dalam kemungkaran, dan dengan mendengar pengakuan dari mereka sendiri yang telah bertaubat, tentu akan menjumpai hal yang antara mereka ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dengan menyaksikan video dan memandang situs-situs yang mengandung konten tidak senonoh, serta menggunakan identitas palsu agar dapat berkomunikasi dengan lawan jenis non-mahram. Kita dapat melihat bahwa mereka yang melakukan hal tersebut secara lahiriah konsisten terhadap ajaran agama, nampak dalam pakaian, shalat, dan puasa yang dikerjakan. Pada mereka inilah ancaman dalam hadits Tsauban radhiallahu anhu ditujukan, sebagai ancaman karena perbuatan mereka serupa dengan orang-orang munafik, atau dikarenakan mereka menjadi musuh iblis secara lahiriah, namun menjadi teman iblis di kala bersendirian sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama Hajr al-Haitami rahimahullah mengatakan,الكبيرة السادسة والخمسون بعد الثلاثمائة إظهار زي الصالحين في الملأ ، وانتهاك المحارم ، ولو صغائر في الخلوة أخرج ابن ماجه بسند رواته ثقات عن ثوبان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لأعلمنَّ أقواماً مِن أمتي يأتون“Dosa besar ketiga ratus lima puluh enam adalah menampakkan keshalihan di hadapan manusia, namun menerjang perkara yang diharamkan Allah, meski dosa kecil di kala bersendiri. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad para perawi yang tsiqah dari Tsauban radhiallahu anhu dari nabi shallallalu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku…”” az-Zawaajir an Iqtiraafi al-Kabaa-ir.Ketiga Sabda nabi shallallahu alaihi wa sallam “إذَا خَلوا بِمَحَارِمِ الله” tidak hanya berarti bahwa pelaku dalam hadits Tsauban melakukan apa yang dilarang Allah tatkala bersendirian di rumah! Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. Dengan demikian, dalam hadits Tsauban terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia untuk melakukan apa yang dilarang Allah, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan itulah yang tidak akan dimaafkan, sementara yang nampak bagi kami pelaku maksiat yang dimaafkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah adalah seorang yang dalam keadaan sendirian melakukan karena itu, dalam hadits Abu Hurairah subjek disebutkan secara tunggal dan spesifik, di mana Allah telah menutupi aib yang dilakukannya di malam hari sebagaimana dalam kalimat “يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ”, sedangkan dalam hadits Tsauban terkandung lafadz jamak/plural mengingat dalam hadits tersebut terdapat kata “قوْم” dan “خَلَوا”.Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullah mengatakan, “Nampaknya kalimat “خلوا بمحارم الله” bukanlah berarti “سرّاً”sendiri/rahasia, namun apabila terdapat kesempatan mereka melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian kata “خلَوا” bukanlah berarti “سرّاً”, namun memiliki arti yang sama sebagaimana terdapat dalam sya’ir “خلا لكِ الجو فبيضي واصفري”” Silsilah Huda wa an-Nuur kaset nomor 225.Baca Juga 10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah MaksiatKeempat yang disebutkan dalam hadits Tsauban adalah orang yang menghalalkan maksiat atau melampaui batasMereka yang disebutkan dalam hadits Tsauban disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” menerjang larangan Allah. Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah pasti mengetahui perbuatan karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka. Ancaman yang ada dalam hadits tersebut semata-mata bukan dikarenakan melakukan kemaksiatan. Inilah mengapa Tsauban radhiallahu anhu bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menjelaskan sifat mereka karena khawatir para sahabat juga termasuk di dalam ancaman tanpa disadari. Pertanyaan semisal ini merupakan pertanyaan yang dilakukan untuk mengenal kondisi hati pelaku kemaksiatan tersebut, bukan semata-mata untuk mengetahui perbuatan Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithiy hafizhahullah mengatakan, “Maksud dari hadits ini adalah mereka memiliki sifat meremehkan dan … Allah, sehingga terdapat perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dengan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan bagi pelakunya. Berbeda seorang yang bermaksiat ketika sendiri dengan seorang yang meremehkan Allah, di mana kebaikannya di hadapan manusia merupakan tindakan riya’ meski banyak seperti gunung. Apabila dirinya berada di tengah-tengah orang shalih, dirinya menampakkan amalan yang baik karena berharap sesuatu kepada manusia, bukan berharap pahala kepada Allah. Maka, orang ini mengerjakan amal shalih yang banyaknya seperti gunung, secara lahiriah merupakan kebaikan, akan tetapi tatkala bersendirian dirinya menerjang larangan Allah. Tatkala tersembunyi dari pandangan manusia, dia tidak mengagungkan Allah dan tidak pula takut dengan seorang yang bermaksiat ketika bersendirian namun di dalam hatinya terdapat penyesalan, dia tidak menyukai dan membenci kemaksiatan tersebut, serta Allah memberikan karunia penyesalan atas kemaksiatan yang telah dilakukan. Seorang yang bermaksiat dalam kondisi bersendirian namun merasa menyesal dan merasa terluka atas kemaksiatan yang dilakukan, bukanlah dikatakan sebagai orang yang menerjang larangan Allah karena pada asalnya orang tersebut mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, namun syahwat telah menguasainya sehingga dia pun menyesali kemaksiatan tersebut. Adapun orang yang sebelumnyaadalah pribadi yang berkarakter lancang danberani menentang makna dari hadits Tsauban mengingat hadits tersebut tidaklah menerangkan perihal satu orang, dua orang atau berbicara tentang kriteria tertentu, namun hadits tersebut menerangkan sifat-sifat secara sempurna. Di antara manusia ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dan hatinya memang menentang Allah. Sedangkan yang lain bermaksiat tatkala bersendiri karena takluk akan syahwat, namun jika ditelisik lebih jauh, terkadang keimanan yang dimilikinya mampu mengalahkan syahwat tersebut dan mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. Akan tetapi dalam beberapa kondisi syahwat membutakannya karena memang syahwat mampu membutakan dan membuat seorang jadi tuli sehingga dia tidak mampu menerima nasehat. Akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kemaksiatan dan digelincirkan setan. Allah berfirman,إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ“Hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat di masa lampau dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” Ali Imraan 155.Ayat di atas menerangkan bahwa apabila hamba digelincirkan setan hingga bermaksiat, namun di lubuk hatinya masih terdapat pengakuan bahwa dirinya telah berbuat dosa, Allah juga mengetahui tatkala bermaksiat ada penyesalan dalam dirinya, benci akan kemaksiatan tersebut hingga sebagian di antara mereka ketika bermaksiat ada yang berangan-angan agar dirinya diwafatkan sebelum melakukan kemaksiatan tersebut. Orang yang demikian ini sebenarnya orang yang masih mengagungkan Allah, akan tetapi dia belum diberi karunia berupa keimanan yang dapat menghalanginya dari perbuatan maksiat. Dan terkadang Allah mengujinya dengan kemaksiatan tersebut dikarenakan dia telah menghina orang lain, durhaka pada orang tua, atau memutus silaturahim sehingga Allah tidak menurunkan rahmat-Nya. Bisa juga dia menyakiti ulama atau salah seorang wali Allah sehingga Allah pun mengumumkan perang terhadap dirinya. Dengan demikian kondisi orang tersebut layaknya seorang yang sedang dihinakan meski dalam hatinya dia idak ridha terhadap perbuatan seorang yang bermaksiat tatkala bersendirian memiliki beberapa tingkatan. Di antara mereka melakukan kemaksiatan dan dalam hatinya terdapat sikap lancang dan meremehkan Allah. Anda dapat melihat sebagian pelaku kemaksiatan ketika bermaksiat, di mana tidak ada seorang pun yang melihat dan memperingati dirinya, dia melakukan kemaksiatan tersebut dengan bangga, angkuh, dan pencemoohan terhadap Allah. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan dan melakukan berbagai perbuatan yang meremehkan kekuasaan Allah, tatkala seseorang menasehatinya dia pun menolak dengan penuh keangkuhan sehingga dirinya menganggap remeh keagungan Allah, agama dan syari’at-Nya. Orang ini secara lahiriah apabila berada di hadapan manusia dia tetap shalat dan berpuasa, namun jika bersendirian dia bermaksiat dan meremehkan keagungan Allah –wal iyaadzu billah-. Orang yang demikian tentu tidak sama dengan mereka yang terkalahkan oleh syahwat, terfitnah dengan apa yang dilihatnya namun menyadari bahwa kemaksiatan yang dilakukannya dapat membawa musibah dan kehancuran. Dia mengerjakan kemaksiatan tersebut, namun hatinya tidak nyaman dengan maksiat tersebut, merasa terluka dan menyesal ketika telah demikian, kandungan hadits Tsauban ini tidak bersifat mutlak. Kandungan dari hadits ini hanya mencakup mereka yang bermaksiat di kala bersendirian dan di dalam dirinya terdapat penentangan dan sikap meremehkan ketentuan-ketentuan Allah –wal iyaadzu billah-” Syarh Zaad al-Mustaq’ni’.Semoga Allah menganugerahkan dan menghiasi hati kita dengan keimanan, serta kita memohon kepada-Nya agar menganugerahi diri kita agar membenci kekufuran, kefasikan dan Juga Pengaruh Shalat Dan Maksiat Terhadap Rezeki***Penulis Muhammad Nur Ichwan MuslimArtikel
- ፈ θсри убеβ
- Псозեቴխшоф եτиша юզукጁηጤզ
- Ծፖ իφятаскጶм
Apakata ulama tentang maksiat. Jika manusia seperti kita ini mungkin perbuatan maksiat kepada Allah itu masih suka di lakukan baik yang kadarnya besar maupun kadarnya kecil .Tetapi Allah Subhanahu wa ta'ala dapat mengampuni semua perbuatan Maksiat ini jika hambanya mau bertobat kepadanya.Yang berbahaya itu ketika Manusia sedang berbuat
JAKARTA - Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan di dunia maupun di akhirat. Jumlah maksiat tidak diketahui secara pasti, kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Dikutip dari buku Ad-Daa wad Dawaa karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud salah satunya menghalangi masuknya ilmu. Ilmu merupakan cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat merupakan pemadam cahaya tersebut. Ketika Imam asy-Syafii duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat syaikh ini tercengang. Beliau pun berujar, "Sesungguhnya aku memandang Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat". Imam asy-Syafi'i berkata dalam syairnya, شكوت إلى وكيع سوء حفظي ، فأرشدني إلى ترك المعا صي وقال اعلم بأن العلم فضل ، وفضل الله لا يؤتاه عاص "Aku mengadu kepada Waki' tentang buruknya hafalanku. Dia menasehatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan. Dia pun berkata 'Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia. Dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat," Diwan asy-syafii, al-Fawa-idul Bahiyyah dan Syarh Tsulatsiyyatil Musnad.
Berikutdelapan dampak perbuatan maksiat dalam kehidupan. Pertama, perbuatan maksiat mendatangkan murka Allah SWT. Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman, "Aku Allah tidak ada Tuhan selain Aku. Jika Aku ditaati, Aku Rido, dan jika Aku rido, maka Aku memberi berkah, dan keberkahan-Ku tidak ada akhirnya. Tapi jika manusia maksiat kepada
Ilustrasi kumpulan hadits menuntut ilmu. Foto PixabayIlustrasi menuntut ilmu yang menjadi kewajiban bagi setiap umat Muslim. Foto Pixabayطَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913.تَعَلَّمُوْاوَعَلِّمُوْاوَتَوَاضَعُوْالِمُعَلِّمِيْكُمْ وَلَيَلَوْا لِمُعَلِّمِيْكُمْ رَواهُ الطَّبْرَانِيْ"Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu. HR Tabrani.مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ"Barang siapa keluar dalam rangka menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai ia kembali."مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” HR. Muslim.إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang berdoa untuknya.” HR. Muslim.مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” HR. Bukhari no. 71 dan Muslim No. 1037.اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَامًا، وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.” HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.“Ketahuilah bahwa sesungguhnya dunia itu terlaknat dan terlaknat pula isinya kecuali berzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang belajar.” Hasan HR. At-Tirmidzi no. 2322.مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا“Siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” HR. Muslim no. 2674.إِنَّكُمْ قَدْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيرٍ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيلٍ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيرٍ مُعْطُوهُ، قَلِيلٍ سُؤَّالُهُ، الْعَمَلُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ، وَسَيَأْتِي زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيلٌ مُعْطُوهُ، الْعِلْمُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ“Sungguh kalian sekarang benar-benar berada di sebuah zaman yang banyak orang-orang faqihnya, sedikit para penceramahnya, banyak para pemberi, dan sedikit para peminta-minta. Amal di masa ini lebih baik daripada ilmu. Akan datang sebuah zaman nanti di mana sedikit orang-orang faqihnya, banyak para penceramahnya, sedikit para pemberi, dan banyak para peminta-minta. Ilmu di masa itu lebih baik daripada amal.” Shahih HR. Ath-Thabrani no. 3111.إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ"Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputus semua amalnya tidak bisa lagi menambah pahala kecuali 3 orang, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan orang, atau anak shalih yang mendoakan orangtuanya.” HR. Muslim no. 1631.Ilustrasi mempelajari ilmu agar memperoleh keutamaan yang luar biasa. Foto Pixabayمَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُرِيدُ إِلَّا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ“Siapa yang bersegera pergi ke masjid hanya untuk tujuan belajar kebaikan atau mengajarkannya maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang haji secara sempurna.” Shahih HR. Ath-Thabrani no. 7473 dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ، لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Dia akan menjadikannya mendalami agama. Aku hanya berbagi dan Allah yang memberi. Akan senantiasa ada sekelompok dari umat ini yang tegak di atas perintah Allah, orang yang menyelisihi mereka tidak akan membahayakan mereka hingga datang hari Kiamat.” HR. Al-Bukhari no. 3971 dan Muslim no. 1037.مَرْحَبًا بطالبِ الْعِلْمِ، طَالِبُ الْعِلْمِ لَتَحُفُّهُ الْمَلَائِكَةُ وَتُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغُوا السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ حُبِّهِمْ لِمَا يَطْلُبُ“Selamat datang wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penutup ilmu benar-benar ditutupi para Malaikat dan dinaugi dengan sayap-sayapnya. Kemudian mereka saling bertumpuk-tumpuk hingga mencapai langit dunia langit paling dekat dari bumi, karena kecintaan mereka Malaikat kepada ilmu yang dipelajarinya.” Shahih HR. Ath-Thabrani no. 7347 dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الخَيْرَ“Sesungguhnya Allah, para Malaikat-Nya, penduduk langit-langit dan bumi-bumi, hingga semut-semut yang ada di lubangnya, hingga ikat-ikan, benar-benar semuanya bershalawat memintakan ampun untuk orang yang mengajari kebaikan kepada manusia.” Shahih HR. At-Tirmidzi no. 2685.نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ“Semoga Allah menjadikan bercahaya seseorang yang mendengar hadits kami lalu menghafalnya hingga menyampaikannya kepada orang lain. Betapa banyak orang yang membawa riwayat fiqih kepada orang yang lebih faqih darinya. Betapa banyak orang yang membawa riwayat fiqih tetapi tidak faqih.” Shahih HR. At-Tirmidzi no. 2656.عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ يَحْتَرِفُ، فَشَكَا المُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ»"Ada dua orang bersaudara kakak-adik di zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di mana salah satu dari keduanya senantiasa mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mendengarkan hadits dan yang lainnya sibuk bekerja. Lalu yang bekerja itu mengadukan saudaranya kepada beliau karena tidak ikut membantu kerja lalu beliau menjawab “Boleh jadi kamu diberi rezki justru gara-gara saudaramu itu.” Shahih HR. At-Tirmidzi no. 2345.فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ“Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamanku atas orang paling rendah dari kalian.” Shahih HR. At-Tirmidzi no. 2685.4. تَعَلّمُواالعِلْمَ وَتَعَلّمُوْا لِلْعِلْمِ السّكِيْنَةَ وَالْوَقَا رَ وَتَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَتَعَلّمُوانَ مِنْهُ"Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya." HR Thabrani. طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ"Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim, dan siapa yang menanamkan ilmu kepada yang tidak layak seperti yang meletakkan kalung permata, mutiara, dan emas di sekitar leher hewan." HR Ibnu Majah
LaranganBerbuat Maksiat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, yang artinya, "Rasulullah saw. bersabda, 'Tidaklah seorang pezina itu berzina sedang ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang peminum khamr itu meminum khamr sedang ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang pencuri itu mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin.
Ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, mendorong pemeluknya untuk menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, dan sangat menghormati para guru. ilmu pengetahuan adalah sesutau yang wajib dimiliki, karena tidak akan mungkin seseorang mampu melakukan ibadah yang merupakan tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Ta’ala, tanpa didasari ilmu. Minimal, ilmu pengetahuan yang akan memberikan kemampuan kepada dirinya, untuk berusaha agar ibadah yang dilakukan tetap berada dalam aturan-aturan yang telah ditentukan. Dalam agama, ilmu pengetahuan, adalah kunci menuju keselamatan dan kebahagiaan akhirat selama-lamanya. Ilmu Adalah Cahaya Ilmu adalah cahaya yang dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam hati seorang hamba, sedangkan maksiat akan mematikan cahaya tersebut. Ketika Imam Asy-Syaiii duduk berguru di hadapan Imam Malik dengan “membacakan” kitab kepadanya maka, Imam Malik terkagum oleh kecepatan hafalannya, kecerdasannya yang sangat cemerlang, dan pemahamannya yang sempurna. Beliau kemudian berkata kepadanya, “Sungguh aku melihat bahwa Allah Ta’ala telah memberikan cahaya kepadamu, maka jangan padamkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan.” Baca juga Buah Dosa Dikeesokan Hari Sudah tidak asing lagi ditelingga kita perkataan Imam Syafi’i yang berbunyi, “Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” I’anatuth Tholibin, 2 190 Saudaraku, hafalan Imam Syafi’i sungguh amat luar biasa. Diumur 7 tahun sudah hafal Al-Quran dan diumur 10 tahun sudah hafal kitab Al-Muwatho’ karangan Imam Malik. Dan diumur 15 tahun sudah menjadi mufti Thorh At Tatsrib, 1 95-96 Namun, suatu hari Imam Syafi’i pernah mengadukan kepada gurunya atas sulitnya mengulang hafalannya. Si guru menegurnya, “Engkau pasti pernah melakukan suatu dosa. Cobalah engkau merenungkan kembali!” Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa yah dosa yang kira-kira telah kuperbuat?” Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki kendaraannya, lantas tersingkap pahanya -ada pula yang mengatakan yang terlihat adalah mata kakinya- Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya. Terlena Dalam Lubang Kemaksiatan Saudaraku, hafalan beliau bisa terganggu karena ketidak-sengajaan. Itu pun sudah mempengaruhi hafalan beliau. Bagaimana dengan kita yang keseharian tidak bisa lepas dengan barbagai aurat wanita. Seperti rambut, betis, leher, bahkan bagian lutut keatas. Di zaman Imam Syafi’i aurat tersebut tersingkap secara tidak sengaja. Namun, hari ini aurat diumbar dan diperlihatkan di mana-mana. Bahkan lebih parahnya, banyak model yang dengan bangga menontonkan aurat mereka. Sungguh, kita memang benar-benar telah terlena dengan maksiat. Lantas maksiat tersebut menutupi hati kita sehingga kita pun sulit melakukan ketaatan, malas untuk beribadah, juga sulit dalam hafalan Al Qur’an dan hafalan ilmu lainnya. Maka benarlah firman Allah Ta’ala yang berbunyi, كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” QS. Al Muthoffifin 14. Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Ibnu Katsir, 14 268. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.” Ad Daa’ wad Dawaa’,107. Al Fudhail bin Iyadh berkata, بقدر ما يصغر الذنب عندك يعظم عند الله وبقدر ما يعظم عندك يصغر عند الله “Jika engkau menganggap dosa itu kecil, maka itu sudah dianggap besar di sisi Allah. Sebaliknya, jika engkau mengganggap dosa itu begitu besar, maka itu akan menjadi ringan di sisi Allah.” Imam Ahmad berkata bahwa beliau pernah mendengar Bilal bin Sa’id menuturkan, لا تنظر إلى صغر الخطيئة ولكن انظر إلى عظم من عصيت “Janganlah engkau melihat pada kecilnya dosa. Akan tetapi lihatlah pada agungnya siapa yang engkau maksiati yaitu Allah Ta’ala.” Muhammad bin Ibrahim al-Bikri, Dalil Al-Falihin litarqi Riyadhus Shalihin, cet IV, jilid 1, hal 239 Ya Allah, berilah taufik pada kami sehingga mudah melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat serta berilah hidayah pada kami untuk giat bertaubat. Semoga Kau bimbing kami tetap dijalan-Mu, serta mendapatkan ilmu yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat, amin. Wallahu Ta’ala Alam [] Ibnu Alatas
. hadits tentang maksiat kepada allah dapat menghalangi ilmu